Faktor-faktor yang mempengaruhi khasiat obat



EVALUASI KHASIAT DAN KEAMANAN OBAT
(UJI KLINIK)
I.  PENDAHULUAN
Prinsip dasar pengobatan adalah menghilangkan gejala dan juga menyembuhkan penyakit serta jika mungkin
mencegah timbulnya penyakit. Dalam prinsip dasar ini tercakup pula ketentuan bahwa manfaat klinik obat yang diberikan harus melebihi risiko yang mungkin terjadi sehubungan dengan pemakaiannya. Untuk dapat menilai secara objektif kemanfaatan dan keamanan suatu obat diperlukan pengetahuan mengenai metodologi uji klinik, yaitu suatu perangkat metodologi ilmiah untuk menilai kemanfaatan klinik suatu obat atau perlakuan (intervensi) terapetik tertentu dengan memperhatikan faktor-faktor yang dapat memberikan pengaruh yang tidak dikehendaki (adverse effect) baik individual maupun populasi.
Dalam topik ini akan dibahas latar belakang, tujuan, tahap-tahap uji klinik dan komponen-komponen yang tercakup dalam penelitian/uji klinik. Dengan menguasai materi topik ini, mahasiswa akan memperoleh informasi yang bermanfaat untuk menilai secara kritis kemanfaatan dan keamanan suatu obat baru.

II.  TUJUAN
Setelah kuliah dan diskusi, mahasiswa diharapkan:
1.  Mengetahui latar belakang, kepentingan dan tujuan uji klinik.
2. Mengetahui dan memahami tahap-tahap uji klinik dan komponen-komponen yang tercakup dalam suatu uji klinik.
3.  Mempunyai kemampuan menilai kemanfaatan dan keamanan suatu obat secara objektif.
4.  Mempunyai kemampuan menelaah secara kritis (critical appraisal) suatu uji klinik.

III. PERSIAPAN
1.  Membaca Catatan Kuliah/Diskusi A-11/CKD.
2.  Mempersiapkan butir-butir pertanyaan yang berkaitan dengan materi/catatan kuliah tersebut untuk didiskusikan di kelas.

IV. KEPUSTAKAAN YANG DIANJURKAN (tersedia di Laboratorium Farmakologi Klinik).
Grahame-Smith, D.G. & Aronson, J.K. 1984 Oxford Textbook of Clinical Pharmacology and Drug Therapy. Oxford University Press, Oxford.
Santoso, B. & Sadjimin, T. 1987 Cara menilai laporan hasil uji klinik. Lembaran  Obat dan Pengobatan I(3):8-11A-11/PKD

LATAR BELAKANG DAN TUJUAN UJI KLINIK
I. PENDAHULUAN
Penilaian manfaat klinik (clinical efficacy) suatu obat tidak dapat didasarkan hanya pada pengalaman secara
individual, baik oleh pemakai obat (prescriber) atau pasien saja. Hal ini oleh karena dalam menginterpretasi
pengalaman-pengalaman tersebut, masing-masing akan dipengaruhi oleh pra-condong (bias) akan kemanfaatan obat yang dimaksud. Dalam praktek kedokteran modern, manfaat klinik suatu obat atau pengobatan harus dapat dibuktikan secara ilmiah dengan metodologi yang dapat dipertanggungjawabkan.
Dalam ilmu klinik, metodologi ilmiah untuk membuktikan atau menilai manfaat klinik suatu obat, pengobatan, atau suatu intervensi, dikenal sebagai "uji klinik acak terkendali" (randomized controlled clinical trial), atau secara ringkas sering disebut sebagai uji klinik. Hingga saat ini uji klinik telah diterima secara luas sebagai satu-satunya metode yang efektif untuk menilai dayaguna, hasilguna, dan keamanan suatu obat, tindakan pengobatan, atau strategi terapetik tertentu dalam klinik.

II.  ILUSTRASI
Sering dalam praktek seorang dokter menyimpulkan kemanfaatan klinik suatu obat atau intervensi pengobatan
berdasarkan pengalaman pribadi dalam memakai obat tertentu. Ini seringkali akan dipengaruhi oleh bias pribadi, dan tidak menggambarkan manfaat klinik yang sesungguhnya dari obat atau intervensi yang dimaksud. Contoh,
1. Seorang dokter menyatakan bahwa ia selalu memberikan tetrasiklin pada kasus diare akut, karena menurut
pengalamannya, jika diberi tetrasiklin, kasus-kasus diare akut akan segera membaik. Menurut pengalamannya, diperkirakan dari 100 kasus diare akut yang diberi tetrasiklin, + 90% akan membaik/sembuh pada hari ke 4-5 sesudah mulainya diare.
2. Menurut pengalaman para dokter, kasus-kasus selesma (common cold) yang  diberi antibiotika ampisilin, hampir semuanya akan membaik/sembuh pada hari ke 7 setelah mulainya gejala. Dari 100 kasus yang diberi ampisilin + 95% sembuh.
Komentar:
1. Bagaimana patofisiologi/perjalanan alami diare akut dan selesma? Apa terapi yang dianjurkan?
2. Apakah jika tidak diberi tetrasiklin diare akut tidak akan membaik/sembuh? Atau selesma tidak akan membaik jika tidak diberi ampisilin?
3. Apakah penyembuhan diare akut tersebut disebabkan oleh tetrasiklin? Atau apakah penyembuhan selesma
disebabkan oleh ampisilin? Dengan kata lain, bagaimana manfaat tetrasiklin pada diare akut, dan ampisilin pada selesma?
Bagaimana cara pembuktiannya?
                                                   
III. TUJUAN DAN KEPENTINGAN UJI KLINIK
Uji klinik bertujuan untuk membuktikan atau menilai manfaat klinik suatu obat, pengobatan, atau strategi terapetik tertentu secara  objektif dan  benar. Dengan kata lain, uji klinik dimaksudkan untuk menghindari pracondong/bias pemakai obat (prescriber), pasien, atau dari perjalanan alami penyakit itu sendiri. Di samping itu, uji klinik harus dapat memberikan jawaban yang benar (valid) mengenai manfaat klinik intervensi terapi tertentu, jika memang bermanfaat harus terbukti bermanfaat, dan jika tidak bermanfaat harus terbukti tidak bermanfaat.Berdasarkan pembuktian melalui uji klinik ini, maka suatu obat,  pengobatan atau strategi terapetik tertentu baru dapat diterapkan secara luas dalam praktek. Dalam pengembangan obat-obat baru, maka prinsip penilaian obat atau calon obat didasarkan pada metode uji klinik secara ketat. Prinsip-prinsip metodologi uji klinik harus diterapkan pada fase III, yaitu fase definitif (lihat A-05/03/CKD-2). Uji klinik fase I dan II dimaksudkan sebagai langkah persiapan untuk uji klinik fase III ini.

IV. METODOLOGI/RANCANGAN UJI KLINIK
Untuk dapat memperoleh jawaban secara objektif dan benar, maka uji klinik harus memenuhi prinsip-prinsip
metodologi/rancangan yang sesuai, yang secara garis besar meliputi hal-hal berikut:
-     subjek-subjek atau pasien yang dimasukkan dalam uji klinik (inclusion and exclusion criteria),
-     rancangan (design) uji klinik,
-     bagaimana efek terapetik akan dinilai (kriteria penilaian),
-obat atau intervensi apa yang akan dinilai, dan apa pembandingnya.
Secara lebih rinci, prinsip-prinsip ini diterjemahkan dalam komponen-komponen uji klinik

V. BAGAIMANA MENILAI SUATU UJI KLINIK?
Tidak setiap uji klinik yang dipublikasi bisa begitu saja diterima dan diterapkan dalam praktek, oleh karena sering hasil yang dilaporkan tidak berdasarkan pada metodologi yang diperlukan. Menilai hasil suatu uji klinik, sebenarnya adalah menilai apakah prinsip-prinsip metodologi uji klinik atau komponen-komponen yang diperlukan telah dipenuhi.
Butir-butir penilaian mencakup berbagai komponen pertanyaan berikut:
BUTIR-BUTIR PENILAIAN UJI KLINIK
1.  Latar belakang dan tujuan
- Apakah alasan, tujuan, dan manfaat uji klinik?
2.  Rancangan (design)
- Rancangan apakah yang digunakan?
- Apakah sesuai dengan tujuan, dan tepat untuk menjawab pertanyaan penelitian (research question)?
3.  Kriteria seleksi pasien
- Apakah kriteria diagnostik/pemasukan dan pengecualian yang diajukan?
- Apakah kriteria diagnostik sesuai dengan indikasi obat yang diuji?
- Apakah kriteria-kriteria tambahan lainnya?
4.  Jenis perlakuan dan pembanding
- Apakah obat dan pembandingnya disebutkan secara jelas?
- Apakah pembandingnya merupakan obat pilihan utama  (drug of choice) untuk indikasi yang
dimaksudkan?
- Apakah prosedur dan tata-laksana perlakuan dijelaskan?
- Apakah perlakuan lain (selain obat uji dan pembanding) juga disebutkan?
5.  Pengacakan (randomisasi).
- Bagaimana randomisasi dilakukan?
- Apakah subjek-subjek yang diikutsertakan terbagi sama rata dalam kelompok-kelompok perlakuan dan
pembanding?
- Apakah ciri-ciri pasien pada kelompok perlakuan sebanding dengan kelompok pembanding?
6.  Penilaian respons
- Adakah kriteria utama dan/atau tambahan untuk penilaian respons?
- Apakah kriteria respons valid, dan reliable?
- Bagaimanakah keanekaragaman penilaian?
- Bagaimana ketaatan pasien?
7.  Analisis
- Apakah uji statistik yang digunakan sudah tepat?
- Apakah semua kriteria penilaian dianalisis?
- Apakah jumlah sampel sudah memenuhi syarat?
8.  Interpretasi makna klinik
- Apakah makna klinik yang diperoleh dari hasil uji klinik?
9.  Etika
- Apakah alasan uji klinik dapat diterima?
- Apakah ada ijin kelaikan etik (ethical clearance)?
- Apakah ada surat pernyataan persetujuan (informed consent) dari subjek-subjek yang ikut serta dalam
penelitian?
- Apakah keselamatan pasien selama penelitian dijamin oleh peneliti?
10.    Kesimpulan
- Apakah kesimpulan yang diambil sudah mencerminkan hasil dan jenis data yang didapat?
Apakah kemanfaatan  obat yang diuji terbukti secara objektif?Bagian Farmakologi Klinik Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada-------------------------------------------- 5
EVALUASI KHASIAT DAN KEAMANAN OBAT
(UJI KLINIK)
I. PENDAHULUAN
Dalam praktek sehari-hari seorang dokter akan selalu dihadapkan pada keadaan di mana harus memilih dan
menentukan alternatif terapi terbaik bagi pasien. Keputusan yang diambil tidak saja didasarkan atas pertimbangan
klinis saja tetapi juga berbagai faktor yang akan mempengaruhi proses terapetik. Jika pengobatan menjadi salah satu
atau bahkan satu-satunya alternatif terapi yang diputuskan, maka diperlukan pertimbangan yang seksama untuk
memilih obat yang sesuai yang memberi kemanfaatan maksimal dan risiko efek samping yang sekecil-kecilnya. Untuk
menelaah kemanfaatan suatu obat  diperlukan penguasaan dasar-dasar uji klinik, yakni suatu metode yang digunakan
untuk menilai kemanfaatan suatu hasil pengobatan atau bentuk intervensi lainnya. Dengan kata lain, uji klinik
merupakan suatu metode pengujian yang dilakukan untuk melihat kemanfaatan suatu obat atau intervensi
dibandingkan dengan obat standard atau intervensi lain yang sudah terbukti kemanfaatannya secara ilmiah.
Informasi mengenai uji klinik ini sangat diperlukan, mengingat dalam praktek sehari-hari seorang dokter akan selalu
dihadapkan pada bermacam-macam pilihan obat mulai dari yang sudah terbukti kemanfaatannya hingga obat-obat
baru yang kadang indikasi pemakaian dan efek farmakologiknya masih perlu dipertanyakan. Sementara informasi
yang datang dari pabrik obat umumnya lebih banyak bersifat sepihak (dalam arti lebih mempertimbangkan segi
pemasaran dan bisnis), seorang praktisi medik dituntut untuk dapat menilai suatu obat baru secara objektif. Dengan
mengetahui dan memahami metodologi uji klinik, kita akan lebih bijaksana dalam menilai kemanfaatan suatu obat baru
secara ilmiah/objektif dengan mempertimbangkan segi manfaat dan risiko serta lebih mengutamakan kepentingan
pasien.
II.  TAHAP-TAHAP UJI KLINIK
Sebelum suatu obat dapat digunakan secara luas perlu dilakukan pengujian melalui berbagai tahap. Tahap-tahap uji
klinik yang harus dilalui oleh setiap obat atau intervensi adalah:
1. Uji klinik fase I.
Pada uji klinik fase I ini untuk pertama kalinya obat yang diujikan diberikan pada manusia (sukarelawan sehat),
baik untuk melihat efek farmakologik maupun efek samping. Secara singkat tujuan uji klinik pada fase ini adalah:
- melihat kemungkinan adanya efek samping dan toleransi subjek  terhadap obat yang diujikan,
- menilai hubungan dosis dan efek obat, dan
- melihat sifat kinetik obat yang meliputi absorpsi, distribusi, metabolisme  dan eksresi.
Dengan melakukan uji klinik fase I ini kita akan memperoleh informasi mengenai dosis, frekuensi, cara dan berapa
lama suatu obat harus diberikan pada pasien agar diperoleh efek terapetik yang optimal dengan risiko efek
samping yang sekecil- kecilnya. Informasi yang diperoleh dari uji klinik fase I ini diperlukan sebagai dasar untuk
melakukan uji klinik berikutnya (fase II).
                         A-05/03/CKD-2
CATATAN KULIAH/DISKUSI-2Bagian Farmakologi Klinik Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada-------------------------------------------- 6
2. Uji klinik fase II
Bertujuan untuk melihat kemungkinan efek terapetik dari obat yang diujikan. Pada tahap ini uji klinik dilakukan
secara terbuka tanpa kontrol (uncontrolled trial). Mengingat subjek yang digunakan terbatas, hasil dan kesimpulan
yang diperoleh belum dapat digunakan sebagai bukti adanya kemanfaatan klinik obat.
3.  Uji klinik fase III
Dalam tahap ini obat diuji atas dasar prinsip-prinsip metodologi  ilmiah yang ketat. Mengingat hasil yang diperoleh
dari uji klinik fase III ini harus memberi kesimpulan definitif mengenai ada/tidaknya kemanfaatan klinik obat, maka
diperlukan metode pembandingan yang terkontrol (controlled clinical trial). Di sini obat yang diuji dibandingkan
dengan obat standard yang sudah terbukti kemanfaatannya (kontrol positif) dan/atau plasebo (kontrol negatif).
4.  Uji klinik fase IV (post marketing surveillance).
Uji tahap ini dilakukan beberapa saat setelah obat dipasarkan/digunakan secara luas di masyarakat. Uji ini
bertujuan untuk mendeteksi adanya efek samping yang jarang dan serius (rare and serious adverse effects) pada
populasi, serta efek samping lain yang tidak terdeteksi pada uji klinik fase I, II dan III.
III. KOMPONEN-KOMPONEN UJI KLINIK
Bukti ilmiah adanya kemanfaatan klinik suatu obat tidak saja didasarkan pada hasil yang diperoleh dari uji klinik tetapi
juga perlu mengingat faktor-faktor lain yang secara objektif dapat mempengaruhi pelaksanaan suatu uji klinik.
Idealnya, suatu uji klinik hendaknya mencakup beberapa komponen berikut,
  1.  Seleksi/pemilihan subjek
  2.  Rancangan
  3.  Perlakuan pengobatan yang diteliti dan pembandingnya
  4.  Pengacakan perlakuan
  5.  Besar sampel
  6.  Penyamaran (blinding)
  7.  Penilaian respons
  8.  Analisis data
  9.  Protokol uji klinik
10.  Etika uji klinik
1.  Seleksi/pemilihan subjek
    Dalam uji klinik harus ditentukan secara jelas kriteria-kriteria pemilihan pasien, yakni:
a. Kriteria pemasukan (inclusion criteria), yakni syarat-syarat yang secara mutlak harus dipenuhi subjek untuk
dapat diikutsertakan dalam penelitian. Meliputi antara lain kriteria diagnostik, baik klinis (termasuk gejala
dan tanda- tanda penyakit) maupun laboratoris, derajat penyakit (mis. ringan, sedang atau berat), asal
pasien (hospital atau community-based), umur dan jenis kelamin.
b. Kriteria pengecualian (exclusion criteria), merupakan kriteria yang tidak memungkinkan diikutsertakannya
subjek-subjek tertentu dalam penelitian. Sebagai contoh adalah wanita hamil. Hampir sebagian besar uji
klinik obat tidak memasukkan wanita hamil sebagai subjek mengingat pertimbangan risiko yang mungkin
lebih besar dibanding manfaat yang didapat. Subjek-subjek yang mempunyai risiko tinggi terhadap
pengobatan/perlakuan uji juga secara ketat tidak dilibatkan dalam penelitian.
Dalam pemilihan pasien hendaknya ditetapkan bahwa kriteria diagnostik yang dipilih benar-benar merupakan
indikasi utama pemakaian obat yang diujikan.Bagian Farmakologi Klinik Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada-------------------------------------------- 7
2.  Rancangan uji klinik
Untuk memperoleh hasil optimal dari suatu uji klinik perlu disusun rancangan (design) penelitian yang dapat
dipertanggung jawabkan secara ilmiah dan etis dengan tetap mengutamakan segi keselamatan dan kepentingan
pasien. Rancangan uji klinik disini dimaksudkan untuk uji klinik fase III, yang secara garis besar membandingkan
dua atau lebih perlakuan/pengobatan untuk melihat kemanfaatan relatif maupun absolut suatu obat baru dengan
menggunakan satu (atau lebih) parameter pengukuran. Dua rancangan uji klinik yang baku dan umum digunakan
yakni  rancangan paralel/rancangan antar subjek (Randomized Controlled Trial/RCT-Parallel Design) dan
rancangan silang/rancangan sama subjek (RCT- cross-over design). Berikut dijelaskan secara ringkas kedua
jenis rancangan tersebut.
a. Rancangan paralel/rancangan antar subjek (RCT-parallel design)
Prinsip dasar rancangan ini yakni, secara acak subjek-subjek yang  dilibatkan dalam penelitian dibagi dua
atau lebih kelompok pengobatan. Jumlah subjek dalam tiap-tiap kelompok pengobatan harus seimbang
atau sama. Masing-masing kelompok akan memperoleh pengobatan/perlakuan yang berbeda, sesuai
dengan jenis obat/perlakuan yang diujikan. Selanjutnya hasil pengobatan pada masing-masing kelompok
dibandingkan (Gambar 1).
pengobatan A
pasien  memenuhi                       pengacakan      
                                                                  kriteria                      
pengobatan B
Gambar 1.
b.  Rancangan silang/rancangan sama subjek (RCT-cross-over design)
Pada rancangan ini setiap subjek akan memperoleh semua bentuk pengobatan/perlakuan secara
selang-seling yang ditentukan secara acak. Untuk menghindari kemungkinan pengaruh obat/perlakuan
yang satu dengan yang lainnya, setiap subjek akan memperoleh periode bebas pengobatan (washed-out
period) (Gambar 2). Rancangan ini hanya dapat dilakukan untuk penyakit-penyakit yang bersifat kronik dan
stabil, seperti misalnya rematoid artritis dan hipertensi.
p   w
e  obat A  a obat B
     n s
g h
pasien  memenuhi a e
     kriteria      c d
a
k    obat B  o obat A
a u
n t
Gambar. 2Bagian Farmakologi Klinik Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada-------------------------------------------- 8
3.  Jenis perlakuan atau pengobatan dan pembandingnya
Dalam uji klinik, jenis perlakuan/pengobatan dan pembandingnya harus didefinisikan secara jelas. Informasi yang
perlu dicantumkan meliputi jenis obat dan formulasinya, dosis dan frekuensi pengobatan, waktu dan cara
pemberian serta lamanya pengobatan dilakukan. Untuk menjamin kelancaran pelaksanaan uji klinik dan
keberhasilan pengobatan, hendaknya dipertimbangkan segi-segi teknis yang berkaitan dengan ketaatan pasien
(patients compliance) serta ketentuan - ketentuan lain yang diberlakukan selama uji klinik. Sebagai contoh di sini
adalah jika frekuensi pemberian terlalu sering (misalnya lebih dari 4 kali/hari) maka kemungkinan ketaatan
pasien juga makin berkurang. Penjelasan lain meliputi obat-obat apa yang boleh dan tidak boleh diminum selama
uji berlangsung. Perlakuan pembanding juga harus dijelaskan, apakah pembanding positif (obat standard yang
telah terbukti secara ilmiah kemanfaatannya) atau  negatif (plasebo). Mengingat bahwa plasebo bukanlah obat,
dalam arti tidak memberi efek terapetik, maka pemberian plasebo tidak dianjurkan untuk penyakit-penyakit yang
dapat berakibat fatal dan serius.
Yang perlu digarisbawahi di sini adalah bahwa pembanding positif hendaknya merupakan obat pilihan pertama
(drug of choice) dari indikasi yang dimaksud. Sebagai contoh, jika obat baru yang diuji indikasikan untuk
mengobati tifus abdominalis, maka pembandingnya (kontrol positif) adalah kloramfenikol (drug of choice untuk
tifus).
4. Pengacakan (randomisasi) perlakuan
Randomisasi atau pengacakan perlakuan mutlak diperlukan dalam uji klinik terkendali (randomized-controlled
trial-RCT), dengan tujuan  utama menghindari bias (pracondong). Dengan pengacakan sebelum uji klinik maka,
- setiap subjek (pasien) akan memperoleh kesempatan yang sama dalam mendapatkan
perlakuan/pengobatan. Dengan kata lain setiap subjek mempunyai peluang yang  sama untuk
mendapatkan obat uji atau pembandingnya.
- subjek-subjek yang memenuhi kriteria pemasukan akan terbagi sama rata dalam tiap  kelompok perlakuan,
di mana ciri-ciri subjek dalam satu kelompok praktis seimbang.
Dengan adanya pengacakan sebelum perlakuan/uji klinik maka penilaian kemanfaatan obat uji dan
pembandingnya dapat dijamin seobjektif mungkin.
5. Besar sampel
Salah satu pertanyaan penting yang perlu dipertimbangkan dalam uji klinik adalah besar sampel atau jumlah
subjek yang diperlukan dalam uji klinik. Beberapa faktor berikut perlu dijadikan salah satu pertimbangan dalam
penentuan jumlah sampel,
1. Derajat kepekaan uji klinik
Jika diketahui bahwa perbedaan kemaknaan klinis antara 2 obat yang diuji tidak begitu besar, maka
diperlukan jumlah sampel yang besar.
2. Keragaman hasil.
Makin kecil keragaman hasil uji antar individu dalam kelompok yang sama, maka makin sedikit jumlah
subjek yang diperlukan.
3. Derajat kebermaknaan statistik.
Makin besar kebermaknaan statistik yang diharapkan dari uji klinik, maka makin besar pula jumlah subjek
yang diperlukan.
Salah satu contoh cara penghitungan besar sampel antara lain, apabila kita ingin membandingkan 2 jenis obat, A
dan B, di mana diperkirakan bahwa prosentase kesembuhan setelah pemberian obat A adalah 95%, sementara Bagian Farmakologi Klinik Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada-------------------------------------------- 9
prosentase kesembuhan pada pemberian obat B 90%. Dengan menentukan (kesalahan tipe I) dan (kesalahan
tipe II), maka digunakan cara penghitungan sbb,
                                     P1 x (100-P1) + P2 x (100-P2)
     n (per group) =  ------------------------------------------------------ x f  (a, b)
                                                     (P1-P2)
2
di mana,
n = jumlah sampel per perlakuan
P1 = prosentase keberhasilan yang diharapkan dari perlakuan 1, misalnya pada contoh diatas
     adalah 95%
P2 = prosentase keberhasilan yang diharapkan dari perlakuan 2, misalnya pada contoh diatas
    adalah 90%
a =   kesalahan tipe I, misalnya 0,05
        b = kesalahan tipe II, misalnya 0,1
f (a, b) = 10,5 (dapat dilihat pada tabel berikut),
Kesalahan
Tipe I  (a)
Kesalahan tipe II (b)
0,05 0,1 0,2 0,5
0,001
0,002
0,005
0,1
17,8
15,8
13,0
10,8
14,9
13,0
10,5
8,6
11,7
10,0
7,9
6,2
6,6
5,4
3,8
2,7
Maka jumlah sampel per perlakuan yang diperlukan adalah,
    95 x (100-95) + 90 (100-90)
n (per group) = -------------------------------------------- x 10,5
      (95 - 90)
2
95 x 5 + 90 x 10
                  = --------------------------------------------- x 10,5
(5)
2
= 578 pasien
Sehingga jumlah sampel keseluruhan = 578 x 2 = 1156 atau dibulatkan menjadi 1200.
6. Penyamaran/pembutaan (blinding)
Yang dimaksud dengan penyamaran di sini adalah merahasiakan bentuk terapi yang diberikan. Dengan
penyamaran, maka pasien dan/atau pemeriksa tidak mengetahui yang mana obat yang diuji  dan yang mana
pembandingnya. Biasanya bentuk obat yang diuji dan pembandingnya dibuat sama. Tujuan utama penyamaran
ini adalah untuk menghindari ‘bias’ (pracondong) pada penilaian respons terhadap obat yang diujikan.
Penyamaran dapat dilakukan secara:Bagian Farmakologi Klinik Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada-------------------------------------------- 10
- Single blind, jika identitas obat tidak diberitahukan pada pasien.
- Double blind, jika baik pasien maupun dokter pemeriksa tidak diberitahu obat yang diuji maupun
pembandingnya.
- Triple blind, jika pasien, dokter pemeriksa maupun individu yang melakukan analisis tidak diberitahu
identitas obat yang diuji dan pembandingnya.
Dengan teknik penyamaran/pembutaan ini bukan berarti tidak ada kontrol terhadap pelaksanaan uji klinik.
Kesehatan dan keselamatan pasien tetap dipantau sepenuhnya oleh penanggung jawab medik, sehingga
sewaktu-waktu terjadi hal-hal yang tidak diharapkan (adverse effects) dapat segera dilakukan penanganan
secara medik.
7. Penilaian respons
Penilaian respons pasien terhadap proses terapetik yang diberikan harus bersifat objektif, akurat dan konsisten.
Oleh sebab itu respons yang hendak diukur harus didefinisikan secara jelas. Sebagai contoh jika yang diuji obat antihipertensi, maka penurunan tekanan darah hendaknya diukur secara objektif (dengan alat ukur yang sama, misalnya sphigmomanometer air raksa dengan satuan mmHg) oleh pemeriksa yang sama, dan dengan metode serta kondisi yang sama pula.
Empat kategori utama yang  umum digunakan untuk menilai respons terapetik adalah:
1.  Penilaian awal (baseline assessment) sebelum perlakuan. Sesaat sebelum uji dilakukan, keadaan klinis
hendaknya dicatat secara seksama berdasarkan parameter-parameter yang telah disepakati. Sebagai
contoh adalah tekanan darah, yang hendaknya telah diukur sesaat sebelum uji klinik dimulai.
2. Kriteria-kriteria utama respons pasien.
Disini indikasi utama pengobatan merupakan kriteria utama yang harus dinilai. Jika yang diuji obat
analgetik-antipiretika, maka kriteria utama penilaian adalah penurunan panas, terjadi tidaknya kejang atau
gejala lain sebagai manifestasi demam, dan sebagainya.
3. Kriteria tambahan.
Suatu uji klinik tidak saja menilai kemanfaatan suatu obat/perlakuan, tetapi juga menilai segi keamanan
pemakaiannya. Untuk itu diperlukan kriteria tambahan. Dengan kriteria tambahan ini kita dapat menilai
apakah obat yang diuji disamping memberi kemanfaatan klinis yang besar juga terjamin keamanannya.
Kriteria tambahan ini umumnya berupa efek samping, mulai derajat ringan sampai berat, baik yang
mengancam kehidupan (lifethreatening) maupun tidak.
4. Pemantauan pasien.
Mengingat keberhasilan uji klinik (secara khusus) maupun terapetik (secara umum) akan sangat
ditentukan oleh ketaaan pasien, maka faktor-faktor yang mempengaruhi ketaatan pasien untuk berperan
serta dalam penelitian hendaknya dapat dikontrol sebaik mungkin.
8. Analisis dan interpretasi data
Analisis data dan interpretasi hasil suatu uji klinik sangat tergantung pada metode statistika yang digunakan.
Sebagai contoh, jika kriteria untuk penilaian hasil diekspresikan dalam bentuk  "ya" atau "tidak" (misalnya
sembuh-tidak sembuh; hidup- mati; berhasil-gagal) maka salah satu uji statistikanya adalah kai kuadrat (Chisquare). Untuk menguji ada tidaknya perbedaan angka rata-rata (mean) antara 2 kelompok uji, maka digunakan
uji-t (Student’s t-test). Metode statistika yang akan digunakan untuk analisis data uji klinik  harus sudah disiapkan
saat pengembangan protokol (protocol development), untuk menghindari ketidaktepatan uji statistika dan
interpretasi hasil.
Satu hal yang perlu menjadi pertimbangan dalam penilaian terhadap hasil uji klinik adalah apakah kebermaknaan
statistik yang diperoleh dapat juga diartikan sebagai bermakna secara klinik? Sebagai contoh: suatu uji klinik membandingkan kemanfaatan klinik obat antihipertensi A dan B. Diperoleh hasil bahwa obat A menyebabkan
penurunan tekanan sistolik rata-rata sebesar 5 mmHg, sedang obat B penurunan rata-ratanya 10 mmHg. Secara statistik, keduanya berbeda bermakna. Tetapi jika dilihat bahwa tekanan sistolik rata-rata pasien sebelum uji adalah 180 mmHg, apakah perbedaan ini juga bermakna secara klinik? Hal ini hendaknya diinterpretasikan secara hati-hati, dengan melihat antara lain distribusi ciri-ciri pasien pada kedua kelompok (sebanding atau tidak), perbandingan jumlah subjek yang mengalami efek samping, kemungkinan bias pada penilaian respons dan sebagainya.
9. Protokol uji klinik
Protokol uji klinik diperlukan sebagai,
- Petunjuk pelaksanaan uji klinik (operation manual), yang mencakup penjelasan mengenai prosedur dan
tatalaksana penelitian hingga cara penilaian hasil serta analisis data.
- Rancangan ilmiah (scientific design), yang terutama mencakup latar belakang, tujuan khusus, kepentingan
uji klinik hingga rancangan uji dan dasar ilmiah penggunaan rancangan yang bersangkutan.
Kerangka protokol uji klinik idealnya mencakup hal-hal berikut:
1.  Latar belakang dan tujuan umum
2.  Tujuan khusus
3.  Kriteria pemilihan pasien
4.  Prosedur dan tata-laksana perlakuan
5.  Kriteria penilaian respons
6.  Rancangan uji
7.  Pencatatan/pendaftaran dan randomisasi subjek
8.  Persetujuan tertulis dari pasien (written informed-consent)
9.  Besar sampel yang diperlukan
10. Pemantauan pelaksanaan uji klinik
11. Formulir pencatatan dan pengelolaan data
12.  Penyimpangan protokol
13.  Rencana analisis statistika
14.  Administrasi
10.   Etika uji klinik
Setiap uji klinik perlu memegang prinsip-prinsip dasar etika penelitian yang secara garis besar menjamin bahwa
segi kesehatan dan keselamatan pasien akan menjadi pertimbangan dan perhatian utama peneliti. Dengan kata
lain, tujuan uji klinik lebih diutamakan bagi kepentingan pasien daripada sekedar uji coba obat.
Etika uji klinik antara lain mencakup hal-hal berikut:
- Protokol uji klinik yang diusulkan telah mendapat ijin kelaikan etik (ethical clearance) dari komisi etik
penelitian biomedik pada manusia di institusi setempat.
- Menjamin kebebasan pasien untuk ikut serta secara sukarela atau menolak atau berhenti sewaktu-waktu
dari penelitian.
- Menjamin kesehatan dan keselamatan pasien sejak awal, selama dan sesudah penelitian.
- Keikutsertaan pasien dalam uji klinik harus dinyatakan secara tertulis (written-informed consent).
- Menjamin kerahasiaan identitas dan segala informasi yang diperoleh dari pasien.Bagian Farmakologi Klinik